“Bagi saya, memiliki mobil klasik bukan sekadar hobi, tapi sudah seperti gaya hidup yang saya cintai dengan segenap passion saya,” ujar Hartawan “Hawke” Setjodiningrat.
Setiap kali Otoblitz Indonesia Classic Car Show usai digelar, selalu saja ada pengunjung yang bertanya-tanya: “Di mana saya bisa mendapatkan mobil-mobil klasik seperti itu, ya? Saya sudah keliling Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, tapi tetap saja sulit menemukan mobil klasik yang langka dengan harga bersaing….”
Jika saja pertanyaan itu dilontarkan pada Hartawan “Hawke” Setjodiningrat, maka jawabannya singkat, padat, dan sangat masuk akal: “Mobil klasik, biasanya, banyak ditemukan di daerah-daerah yang ada perkebunan tebu, pabrik gula dan rempah-rempahnya; karena dulunya para penjajah sering menggunakan mobil klasik sebagai alat transportasi di sana.”
Indonesia, kita tahu, pernah ratusan tahun dijajah Belanda, kemudian Jepang. Mereka datang dengan beragam properti, termasuk kendaraan-kendaraan yang berwira-wiri di pusat kota dan pusat-pusat industri di berbagai daerah. Banyak yang kemudian musnah, namun tak sedikit pula yang masih tersisa. Tak semuanya mulus, tentu; justru lebih banyak sudah berbentuk bangkai.
Hauwke pernah membuktikan sendiri saat blusukan ke daerah kelahirannya, Temanggung, di tahun 1980-an, dan menemukan bangkai Austin Seven (1937) punya seorang lurah di sana. Itulah mobil klasik pertama yang kemudian ia miliki dan dibeli dengan harga Rp 250.000.
Tak murah untuk harga sebuah “bangkai” saat itu. Namun, dengan ketekunan dan keuletannya, dalam waktu enam bulan, Hauwke berhasil menyulap mobil pabrikan Inggris tersebut menjadi mobil klasik tak ternilai.
“Mobil-mobil klasik yang saya punya dulunya memang mobil bangkai. Kemudian pelan-pelan saya coba restorasi setiap bagiannya, hingga akhirnya bisa berfungsi lagi seperti sekarang ini. Makanya, saya lebih suka disebut sebagai restorer daripada kolektor,” katanya.
Di galerinya saat ini – yang ia namakan Hauwke Auto Gallery – berjejer rapi sekitar 60 mobil klasik dari berbagai merk dan tahun keluaran. Seluruhnya dalam kondisi mulus dan siap jalan. Beberapa diantaranya rutin “dipinjam” panitia pameran dan sering dipakai touring jarak jauh bersama para kolektor.
Perkenalan Hauwke dengan mobil klasik memang tak muncul seketika. Sejak berusia 12 tahun, ia sudah gemar dengan segala sesuatu yang bersifat teknikal. Bahkan, sepeda jengki yang ia miliki, beberapa bagiannya sengaja dimodifikasi, hingga tampil beda dan lebih modis.
Hobi itu berlanjut saat ia SMP di Semarang. Dari sepeda jengki, pindah ke sepeda motor pemberian ayahnya.
Lulus SMA, sekitar tahun 1974, Hawke muda pergi kuliah di Sydney, Australia, mengambil jurusan teknik mesin. Di sana ia sering berkumpul dengan orang-orang yang antusias dan berpengalaman di dunia teknik otomotif, khususnya mobil klasik. Seketika itu pula rasa cinta dan kagumnya muncul tatkala menyaksikan beberapa teman berhasil “menghidupkan” kembali bangkai mobil menjadi mobil “baru” serupa kondisi asli saat keluar dari pabrik.
Dari situ, minatnya untuk mendalami dunia automotive engineering dan dunia mobil klasik kian kencang. Setiap ada waktu luang, selalu ia manfaatkan untuk mempelajari seluk-beluk mobil klasik yang tak didapatnya di bangku kuliah. “Sementara orang lain menghabiskan weekend dengan pergi jalan-jalan, saya malah ngebengkel!” kenangnya, tertawa.
Kini, ayah tiga anak ini hidup nyaman sebagai pengusaha sukses di Jakarta ditemani mobil-mobil klasiknya. Pemahamannya akan mesin serta seluk-beluk mobil klasik, membuat nama Hauwke selalu disegani sesama kolektor. Bahkan Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI) sudah bertahun-tahun mendaulatnya sebagai salah satu Dewan Penasihat.
Namun, ia masih menyimpan satu obsesi: “Saya ingin sekali keliling dunia dengan mengendarai mobil-mobil koleksi saya.”
Keinginan tersebut, tampaknya, tak main-main. Hauwke bahkan sudah melakukan survei ke beberapa negara; seperti, Malaysia, Vietnam, China, Thailand, Kamboja, sampai India. Rencananya, perjalanan itu akan dilakukan secara estafet. Sehingga, jika ia lelah dalam perjalanan di suatu negara, bisa pulang dulu ke Jakarta, dan melanjutkan di kemudian hari.
“Kalau saya paksakan dalam satu waktu, saya akan stress. Saya kan hanya ingin perjalanan mengelilingi dunia nanti bisa saya nikmati,” katanya, beralasan. Alasan yang masuk akal, memang.
KOMENTAR (0)