Usai cukup lama menjadi kontroversi, PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) diresmikan kehadirannya sebagai produsen kendaraan Esemka. Pada peresmian pabriknya di Boyolali, Jawa Tengah, pada Jumat lalu (6/9), kendaraan pertama yang diluncurkannya yakni Esemka Bima.
Meski sudah cukup lama menjadi kontroversi, kehadiran Esemka Bima pun tak menghapus sisi kontrovesi sebagai pendatang baru di dunia otomotif Indonesia. Pasalnya, usai peluncurannya tersebut beredar di dunia maya postingan media dan netizen membanding-bandingkannya dengan produk asal Tiongkok yang mempunyai kemiripan, yakni Changan Star Truck.
Banyak netizen yang menyebut jika Esemka Bima merupakan produk asal Cina karena jika dilihat dari postur bodi, penampakan fascia serta tampilan eksterior lainnya sangat mirip dengan kendaraan komersil Changan.
Esemka Bima dibekali mesin 1.2 L E-power 14 DOHC. Mobil memiliki daya maksimum setara 72 kW dan torsi maksimum 119 Nm.
Mencuat pertanyaan dibenak kami sebagai media otomotif, apakah Esemka Bima ini benar-benar hasil produksi dari nol PT Solo Manufaktur Kreasi? Atau mobil yang diimpor dari Tiongkok dan dirakit oleh PT Solo Manufaktur Kreasi di Boyolali?
Kukuh Kumara selaku Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), menanggapinya dengan santai.
“Ada pelaku baru yang harus kita sambut. Karena kita tahu dan kita sering membicarakan mengenai variasi baru, dan kita harus mendukung itu. Kehadiran Esemka juga ikut melibatkan Gabungan Industri Mobil dan Motor (GIAMM) serta Perkumpulan Industri Kecil Menengah Komponen Otomotif (PIKKO),” kata Kukuh saat pertemuan diskusi seputar komponen lokal Esemka di Jakarta, Rabu siang (11/9).
Meski begitu, Kukuh juga menyebutkan bahwa Esemka belum menjadi bagian dari Gaikindo. Yang pasti, Kukuh mengatakan bahwa satu tujuan yang harus dijaga adalah bekerja sama untuk memajukan industri otomotif nasional.
Hadir juga pada kesempatan tersebut Putu Juli Ardika selaku Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian. Putu menjelaskan tanpa memberikan kepuasan pertanyaan media, bahwasannya praktik membeli hak desain ataupun komponen antar pabrikan sudah sering dilakukan di industri otomotif dunia.
Padahal, langkah para pelaku bisnis otomotif dunia, kami sebagai media otomotif tentu sudah tahu dan memang sangat lumrah dilakukan. Tujuan kolaborasi antar pabrikan ini biasanya dilakukan untuk menekan ongkos produksi, berbagi teknologi yang ujungnya produk tersebut bisa dibeli oleh konsumen dengan harga yang lebih terjangkau.
Contoh nyata yang pasti sudah banyak diketahui publik Indonesia sebut saja seperti Toyota Avanza dengan Daihatsu Xenia, Calya-Sigra hingga Rush dan Terios. Mazda VX1 yang mencaplok platform Suzuki Ertiga, atau yang terakhir ada Nissan Livina yang mempunyai kembaran Mitsubishi Xpander.
Kukuh juga mengungkapkan pengalamannya sewaktu masih bekerja di PT. General Motors Indonesia (GM). “Saya bicara tentang pengalaman saya yang terjadi. Waktu itu pertama masuk daftar Chevrolet tapi kemudian kebijakan korporasi yang menentukan jangan pakai nama itu. Enggak bisa pakai nama Chevrolet di Indonesia, tapi harus pakai merek Opel. Maka muncullah Opel Blazer, padahal yang dikenal Chevrolet Blazer,” katanya.
Lalu, apakah Changan Star Truck merupakan hasil rebadged di sini menjadi Esemka Bima? Jika memang benar hasil rebadge sebenarnya sah-sah saja. Sayangnya, dari keempat narasumber yang hadir tak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan. Justru dari pihak Esemka yang absen pada diskusi bersama sejumlah media otomotif nasional tersebut.
KOMENTAR (0)