Nama Huibert Andi Wenas mendadak ngetop di seantero Indonesia; tapi nama Indonesia sendiri ikut “meroket” setelah Majalah The Economist dan Castrol Magnatec Stop-Start Index 2014 menobatkan Jakarta sebagai kota paling tidak aman sekaligus memiliki lalu-lintas paling buruk di seluruh dunia.
Keduanya, diasumsikan oleh sebagian orang yang pemaaf, sebagai “sebab-akibat”. Huibert Andi Wenas (48) adalah dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang dengan rajin memvideokan lalu meng-upload ke Youtube aksi-aksi “main hakim sendiri” di jalan raya gara-gara kejengkelannya terhadap sikap serampangan para pengendara lain yang main serudak-seruduk di tengah kemacetan lalu-lintas Jakarta yang parah.
Kejengkelan Huibert sesungguhnya mewakili setiap pengendara yang “cinta damai”. Hanya saja, cara dia menuliskan kalimat-kalimat pedas di videonya, berikut aksi-aksinya di jalan raya – konon, dia juga pernah sengaja menyerudukkan mobilnya, Suzuki Vitara putih yang diberi nama Ichiro, ke kendaraan lain – bikin para penonton gerah. Huibert kemudian diadukan ke polisi, dan ditilang karena dianggap melanggar Pasal 279 ayat 15, Undang-Undang Lalu-Lintas dan Jalan.
“Pasal tersebut mengenai larangan memodifikasi kendaraan yang dapat membahayakan pengguna jalan,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Risyapudin Nursin.
<iframe width=”640″ height=”360″ src=”https://www.youtube.com/embed/1lkh4ousa00″ frameborder=”0″ allowfullscreen></iframe>
Ichiro milik Huibert memang “menyeramkan”. Bodinya sudah dimodifikasi di sana-sini, dengan lampu gede menyilaukan dan tambahan bemper yang sangar, hingga menyerupai “mesin pembunuh” di film-film Steven King. Dan, aksi-aksi “main hakimnya di jalan, menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Martinus Sitompul, “Tak bisa dibenarkan secara hukum. Apa yang dia lakukan dapat menimbulkan pidana baru, dapat memicu terjadinya pengeroyokan dan perkelahian.”
Maka, di depan para wartawan dan aparat kepolisian, Rabu (4/2), Huibert – yang punya hobi extreme traveling, berkata, ”Saya minta maaf kepada polisi karena melakukan hal yang kurang tepat dan merepotkan kepolisian. Saya juga mohon maaf kepada masyarakat yang merasa terganggu. Saya berjanji tidak akan melakukan tindakan tersebut lagi dan berharap apa yang sudah saya lakukan tidak ditiru oleh orang lain.”
Persoalan Huibert, untuk sementara, selesai; tapi keriwehan lalu-lintas Jakarta, belum. Menurut indeks Castrol Magnatec Stop-Start Index 2014, setiap mobil di Jakarta rata-rata per tahun mengalami 33.240 kali proses berhenti-jalan (stop-start) gara-gara terjebak macet. Angka itu seketika menempatkan Jakarta sebagai kota termacet di dunia – disusul Istanbul, Turki (32.520 stop-start), Mexico City (30.840), Surabaya, Indonesia (29.880), dan St Petersburg, Rusia (29.040 ).
Penghitungan indeks didapat dari data navigasi pengguna perangkat GPS TomTom dari seluruh dunia. Dengan sebuah algoritma khusus, indeks ini dianggap sah untuk menilai kondisi lalu-lintas di 78 kota utama di Asia, Australia, Eropa, Amerika Utara, hingga Amerika Selatan.
Namun, wajah Jakarta masih “terselamatkan” ketika indeks yang sama juga menghitung idling time (durasi pengemudi berhenti di jalan) yang “hanya” mencapai 27,22%. Dengan kata lain, dalam setiap perjalanan, seorang pengemudi rata-rata menghabiskan 27,22% waktunya untuk berhenti.
Angka yang diraih Jakarta ini masih lebih bagus dibandingkan Bangkok (36,07% — urutan pertama), Moskwa (31,5%), New York (28,62%), dan London (28,58 %).
KOMENTAR (0)